Senin, 19 November 2012

perbedaan ideologi pancasila,komunisme dan liberalisme


Perbandingan antara ideologi liberalisme, komunisme dan pancasila

A. Liberalisme jika dibandingkan dengan ideologi pancasila yang secara khusus norma-normanya terdapat di dalam undang-undang dasar 1945, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal yang terdapat di dalam liberalisme terdapat di dalam pasal-pasal uud 1945, tetapi pancasila menolak liberalisme sebagai ideologi yang bersifat absolutisasi dan determinisme.
B. Ideologi komunis ideologi komunisme bersifat absolutisasi dan determinisme, karena memberi perhatian yang sangat besar kepada kolektivitas atau masyarakat, kebebasan individu, hak milik pribadi tidak diberi tempat dalam negara komunis. Manusia dianggap sebagai “sekrup” dalam sebuah kolektivitas.
C. Ideologi pancasila pancasila sebagai ideologi memberi kedudukan yang seimbang kepada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Pancasila bertitik tolak dari pandangan bahwa secara kodrati bersifat monopluralis, yaitu manusia yang satu tetapi dapat dilihat dari berbagai dimensi dalam aktualisasinya.

Agama
Arti dan makna sila ketuhanan yang maha esa manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti halnya makhluk lain diciptakan oleh penciptanya. Pencipta itu adalah kausa prima yang mempunyai hubungan dengan yang diciptakannya. Manusia sebagai makhluk yang dicipta wajib melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-nya.

Ekonomi
6. Pentingnya paradigma dalam pembangunan pembangunan yang sedang digalakkan memerlukan paradigma, suatu kerangka berpikir atau suatu model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan. Pembangunan dalam perspektif pancasila adalah pembangunan yang sarat muatan nilai yang berfungsi menajdi dasar pengembangan visi dan menjadi referensi kritik terhadap pelaksanaan pembangunan.

Ideologi Negara

ideologi
Bangsa indonesia  sebenarnya telah memiliki ideologi itu, yaitu pancasila, uud 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Namun akhir-akhir ini, idiologi tersebut tidak banyak digelorakan. Saya lebih suka menyebutnya  sebagai digelorakan dan tidak sebatas disuarakan, agar memiliki kekuatan lebih. Saya menganggap bahwa idiologi tidak cukup  hanya disuarakan. Ideologi seharusnya selalu   digelorakan  secara terus menerus.    
Sebagai cita-cita, idiologi akan menjadi kekuatan penggerak,  dan sebagai  sesuatu yang diperjuangkan.  Semangat berjuang akan melahirkan kerelaan untuk berkorban. Berjuang dan berkorban adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Seseorang disebut sebagai pejuang manakala yang bersangkutan mau berkorban.  Sebagaimana pula pengorbanan adalah untuk sebuah perjuangan.  
Komunitas yang tidak berorientasi untuk berjuang dan apalagi kehidupannya hanya diwarnai oleh semangat yang bersifat  prakmatis, kekinian, dan  jangka pedek, maka  akan melahirkan budaya korup, nepotis dan kolutif. Oleh sebab itu sebenarnya, penyimpangan sosial seperti  kolusi, korupsi dan nepotisme tersebut  adalah sebuah produk dari masyarakat yang tidak memiliki idiologi secara jelas. Atau, idiologinya  jelas tetapi tidak digelorakan, sehingga akibatnya tidak mampu melahirkan  gerakan  kebersamaan. 
Lingkungan birokrasi yang tidak  berhasil menghidupkan suasana atau iklim  perjuangan,  dan apalagi hanya digerakkan oleh  aturan formal, maka akan rentan tumbuhnya  suasana korup dan atau berbagai bentuk penyimpangan. Itulah sebabnya, sementara pakar mengatakan bahwa birokrasi cenderung korup.  Hal itu terjadi oleh  karena birokrasi tidak selalu dihidupkan oleh semangat berjuang, melainkan oleh  kekuatan mesin birokrasi yang bersifat teknis dan rutin.  
Pancasaila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah merupakan idiologi  bangsa yang sedemikian jelas. Idiologi  tersebut telah berhasil menjadi milik bagi seluruh rakyatnya. Kesadaran sejarah hingga melahirkan pilar-pilar kehidupan bangsa tersebut  seharusnya digelorakan secara terus menerus dari waktu ke waktu,  dijaga,  dan tidak boleh  siapapun memanipulasinya. 
Betapa besar kekuatan idiologi bangsa  dalam menggerakkan kekuatan seluruh rakyat, bisa dilihat tatkala bangsa  ini Idiologi  bangsa   seperti itu harus selalu dipelihara dan digelorakan oleh seluruh pemimpinnya,  di semua level  yang ada. Idiologi bangsa berfungsi  merangkum dan menyatukan seluruh komponen yang ada  dan sekaligus  menjadi kekuatan untuk menghindari  terhadap  munculnya idiologi  baru yang tidak boleh  tumbuh dan berkembang.   Tanpa idiologi yang selalu digelorakan,  maka   sebuah bangsa akan  kehilangan arah dan orientasi,   dan sebagai akibatnya  pula akan   lahir konflik dan bahkan juga  berbagai penyimpangan yang tentu tidak mudah diberantas.

Jumat, 16 November 2012

Dampak NEGATIF Amandemen UUD 19945


Amandemen UUD 45 Juga Beri Dampak Negatif


CIREBON - Ketua Rois Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sahal Machfud, mengatakan amandemen UUD 1945 ketika era reformasi 1998 tidak hanya memberikan dampak yang positif bagi kehidupan berbangsa dan negara, namun juga memberikan dampak yang negatif.
Menurutnya dampak negatif akibat dari amandemen UUD 1945 yang dilakukan secara terburu-buru mengakibatkan munculnya peraturan perundang-undangan yang menyengsarakan rakyat.
"Ketika amandemen UUD 1945 dilakukan dengan tergesa-gesa dan kurang cermat, akibatnya antara lain lahirnya aturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara," kata Sahal, ketika menyakpaikan sambutannya dalam pembukaan acara Munas dan Konbes PBNU di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (15/9/2012).
Sahal mengatakan akibat lain dari munculnya kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan tanpa persiapan sosial  yang matang, sehingga mengganggu keberadaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Akibatnya, muncul konflik yang berkepanjangan di banyak daerah. Lemahnya kendali pemerintah pusat terhadap sektor-sektor strategis di daerah, telah membuat negara kesatuan ini semakin berjalan ke arah sistem semi federal," tuturnya.
Selain itu, sambung Sahal, sistem pemilihan langsung kepala daerah melalui Pemilukada tanpa melalui persiapan matang juga menimbulkan konflik horizontal. Sahal mengatakan sistem ini berimplikasi pada penggunaan politik uang atau money politik yang sangat meracuni moralitas bangsa.
"Hal itu juga tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila yang menekankan pada sistem permusyawaratan dan perwakilan, bukan pada sistem one man one vote," imbuhnya.
Lebih lanjut, Sahal menambahkan gangguan-gangguan yang dialami Indonesia ini, merupakan ancaman bagi NU itu sendiri. "Sebaliknya, apabila Indonesia aman dan tenteram, NU juga merasa aman dan tentram," tegasnya



Amandemen UUD 1945 Hancurkan Pancasila

[SURABAYA]  Rais Syuriah PBNU KHA Hasyim Muzadi menilai amandemen UUD 1945 yang sudah empat kali dilakukan tanpa konsep telah menghancurkan Pancasila.

"Memang benar Pembukaan UUD 1945 tidak diamandemen, tapi materi amandemen batang tubuh UUD 1945 yang menyentuh sendi-sendi operasional justru menghancurkan Pancasila," katanya di Surabaya, Sabtu (8/9).

Tokoh NU asal Malang, Jatim itu mengemukakan hal itu saat berbicara dalam seminar pra-Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang digelar PBNU di Surabaya, sekaligus Halalbihalal PWNU Jatim dengan PCNU se-Jatim.

Dalam seminar bertema kebudayaan yang juga ditandai dengan peluncuran Induk Koperasi "Mabadiku Bintang Sembilan" yang berpusat di PWNU Jatim itu, ia menjelaskan kehancuran Pancasila itu membuat politik, ekonomi, dan budaya pun "bocor".

"Ukuran untuk menilai apakah Indonesia itu stabil atau hancur adalah Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa, karena semua aspek kehidupan dibisniskan, politik pun transaksional," katanya.

Menurut pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Malang dan Depok itu, sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab telah menjadi bentrok, separatisme, konflik, tawuran, dan kerusuhan dimana-mana.

"Hal itu membuat sila Persatuan Indonesia pun berantakan, karena ukhuwah (persaudaraan) tidak ada," kata mantan Ketua PWNU Jatim yang juga mantan Ketua Umum PBNU itu.

Di hadapan pengurus NU dan ulama NU se-Jatim itu, ia mengatakan Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan juga hancur, karena hikmad kebijaksanaan tidak ada dalam pemimpin dan lembaga perwakilan juga sudah tidak merepresentasikan aspirasi rakyat.

"Baik esekutif maupun legislatif, semuanya sudah mementingkan pribadi dan kelompoknya, bukan mementingkan rakyat lagi. Buktinya, korupsi menjalar dimana-mana dan berpindah-pindah parpol juga sudah biasa, karena politisi tidak punya prinsip lagi," katanya.

Semua yang terjadi itu, katanya, menjadikan sila Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia pun hanya menjadi mimpi dan bukan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lagi.

"Penyebab hancurnya Pancasila itu ada tiga faktor yakni sistem, leadership, dan partisipasi masyarakat. Sistem politik, ekonomi, dan budaya sudah 'bocor' semua," katanya.

Misalnya, Pasal 33 UUD 1945 bahwa sumber daya alam dikuasai negara untuk memakmurkan masyarakat sudah bukan lagi ekonomi di tangan penguasa untuk dikembalikan kepada rakyat, tapi ekonomi sudah di tangan pengusaha.

"Itu pun tidak didukung kepemimpinan yang berani, sehingga intervensi asing pun merajalela, bahkan amandemen UUD 1945 juga 'bocor' akibat intervensi asing juga," katanya.

Sementara itu, aspirasi masyarakat juga sulit diwakili, karena para wakil rakyat di parlemen tidak memiliki standar kompetensi yang memadai, namun semuanya diukur dengan suara terbanyak dan voting.

"Harapan bangsa dan negara ini tinggal kepada NU yang selalu tampil saat negara di ambang kehancuran sejak zaman penjajahan, merdeka, PKI, dan pembangunan, karena itu kita harus merawat dan menyelamatkan NU agar bangsa dan negara ini juga selamat," katanya.

Dalam seminar pra-Munas Alim Ulama dan Konbes NU dengan pembicara antara lain Rektor IAIN Prof Abu A'la, Guru Besar Ilmu Komunikasi UI Prof Sasa Djuarsa, praktisi media massa Ishadi SK, dan Wakil Ketua Umum PBNU HM As'ad Ali itu terungkap harapan kepada NU untuk "meluruskan" pemerintah yang tidak bisa menghentikan liberalisme di segala bidang.