Amandemen UUD 45 Juga Beri Dampak Negatif
CIREBON - Ketua Rois Am Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sahal Machfud, mengatakan amandemen UUD 1945 ketika
era reformasi 1998 tidak hanya memberikan dampak yang positif bagi kehidupan
berbangsa dan negara, namun juga memberikan dampak yang negatif.
Menurutnya dampak
negatif akibat dari amandemen UUD 1945 yang dilakukan secara terburu-buru
mengakibatkan munculnya peraturan perundang-undangan yang menyengsarakan
rakyat.
"Ketika amandemen
UUD 1945 dilakukan dengan tergesa-gesa dan kurang cermat, akibatnya antara lain
lahirnya aturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, bangsa dan
negara," kata Sahal, ketika menyakpaikan sambutannya dalam pembukaan acara
Munas dan Konbes PBNU di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu
(15/9/2012).
Sahal mengatakan akibat lain dari munculnya kebijakan otonomi daerah yang
dilaksanakan tanpa persiapan sosial yang matang, sehingga mengganggu
keberadaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Akibatnya, muncul konflik yang berkepanjangan di banyak daerah. Lemahnya
kendali pemerintah pusat terhadap sektor-sektor strategis di daerah, telah
membuat negara kesatuan ini semakin berjalan ke arah sistem semi federal,"
tuturnya.
Selain itu, sambung Sahal, sistem pemilihan langsung kepala daerah melalui
Pemilukada tanpa melalui persiapan matang juga menimbulkan konflik horizontal.
Sahal mengatakan sistem ini berimplikasi pada penggunaan politik uang atau money politik yang sangat meracuni moralitas bangsa.
"Hal itu juga tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila yang menekankan pada
sistem permusyawaratan dan perwakilan, bukan pada sistem one man one
vote," imbuhnya.
Lebih lanjut, Sahal menambahkan gangguan-gangguan yang dialami Indonesia ini,
merupakan ancaman bagi NU itu sendiri. "Sebaliknya, apabila Indonesia aman
dan tenteram, NU juga merasa aman dan tentram," tegasnya
Amandemen
UUD 1945 Hancurkan Pancasila
[SURABAYA]
Rais Syuriah PBNU KHA Hasyim Muzadi menilai amandemen UUD 1945 yang sudah
empat kali dilakukan tanpa konsep telah menghancurkan Pancasila.
"Memang benar Pembukaan UUD 1945 tidak diamandemen, tapi materi amandemen
batang tubuh UUD 1945 yang menyentuh sendi-sendi operasional justru
menghancurkan Pancasila," katanya di Surabaya, Sabtu (8/9).
Tokoh NU asal Malang, Jatim itu mengemukakan hal itu saat berbicara dalam
seminar pra-Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang digelar PBNU di Surabaya,
sekaligus Halalbihalal PWNU Jatim dengan PCNU se-Jatim.
Dalam seminar bertema kebudayaan yang juga ditandai dengan peluncuran Induk
Koperasi "Mabadiku Bintang Sembilan" yang berpusat di PWNU Jatim itu,
ia menjelaskan kehancuran Pancasila itu membuat politik, ekonomi, dan budaya
pun "bocor".
"Ukuran untuk menilai apakah Indonesia itu stabil atau hancur adalah
Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa,
karena semua aspek kehidupan dibisniskan, politik pun transaksional,"
katanya.
Menurut pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Malang dan Depok itu, sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab telah menjadi bentrok, separatisme, konflik,
tawuran, dan kerusuhan dimana-mana.
"Hal itu membuat sila Persatuan Indonesia pun berantakan, karena ukhuwah
(persaudaraan) tidak ada," kata mantan Ketua PWNU Jatim yang juga mantan
Ketua Umum PBNU itu.
Di hadapan pengurus NU dan ulama NU se-Jatim itu, ia mengatakan Sila Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
juga hancur, karena hikmad kebijaksanaan tidak ada dalam pemimpin dan lembaga
perwakilan juga sudah tidak merepresentasikan aspirasi rakyat.
"Baik esekutif maupun legislatif, semuanya sudah mementingkan pribadi dan
kelompoknya, bukan mementingkan rakyat lagi. Buktinya, korupsi menjalar
dimana-mana dan berpindah-pindah parpol juga sudah biasa, karena politisi tidak
punya prinsip lagi," katanya.
Semua yang terjadi itu, katanya, menjadikan sila Keadilan Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia pun hanya menjadi mimpi dan bukan cita-cita dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara lagi.
"Penyebab hancurnya Pancasila itu ada tiga faktor yakni sistem,
leadership, dan partisipasi masyarakat. Sistem politik, ekonomi, dan budaya
sudah 'bocor' semua," katanya.
Misalnya, Pasal 33 UUD 1945 bahwa sumber daya alam dikuasai negara untuk
memakmurkan masyarakat sudah bukan lagi ekonomi di tangan penguasa untuk
dikembalikan kepada rakyat, tapi ekonomi sudah di tangan pengusaha.
"Itu pun tidak didukung kepemimpinan yang berani, sehingga intervensi
asing pun merajalela, bahkan amandemen UUD 1945 juga 'bocor' akibat intervensi
asing juga," katanya.
Sementara itu, aspirasi masyarakat juga sulit diwakili, karena para wakil
rakyat di parlemen tidak memiliki standar kompetensi yang memadai, namun
semuanya diukur dengan suara terbanyak dan voting.
"Harapan bangsa dan negara ini tinggal kepada NU yang selalu tampil saat
negara di ambang kehancuran sejak zaman penjajahan, merdeka, PKI, dan
pembangunan, karena itu kita harus merawat dan menyelamatkan NU agar bangsa dan
negara ini juga selamat," katanya.
Dalam seminar pra-Munas Alim Ulama dan Konbes NU dengan pembicara antara lain
Rektor IAIN Prof Abu A'la, Guru Besar Ilmu Komunikasi UI Prof Sasa Djuarsa,
praktisi media massa Ishadi SK, dan Wakil Ketua Umum PBNU HM As'ad Ali itu
terungkap harapan kepada NU untuk "meluruskan" pemerintah yang tidak
bisa menghentikan liberalisme di segala bidang.